Kosong

Penulis: Firman Jaya

Rumah bagiku
Selalu diisi oleh keheningan….
Aw aw aw…seperti suara srigala yang tidak memiliki suara

Rumah bagiku selalu menyelimutiku dengan dingin seperti taring drakula tampak gelap laksana rumah hantu

Banyak hantu-hantu yang selalu mengejar ku dengan kaki-kakinya

Di dalamnya aku menemukan hantu-hantu yang tak bermulut

Kau tahu, sayang, kecanggungan menenggelamkanku dalam seisi ruangan yang kadang kau sebut rumah itu.

Aku sering mendengar desiran angin di malam hari, seolah-olah rumah ini sendiri sedang bercerita. Kau tahu, sayang, terkadang aku merasa rumah ini hidup, memiliki detak jantung yang misterius. Entah dari mana asalnya, desiran angin itu menyapu setiap kisah yang tertulis dalam dinding-dindingnya.

Dan di dalam kegelapan itu, aku menemukan hantu-hantu yang tak bermulut. Mereka mengambang, tanpa suara, tanpa ekspresi. Seperti bayangan yang tak kunjung pergi, terikat oleh rahasia-rahasia yang terpendam. Mereka terdiam, namun matanya bicara banyak. Ada kegelisahan, kehilangan, dan mungkin juga penyesalan.

Rumah ini seperti memiliki memori sendiri, sayang. Saat kita berbicara, suara kita seolah dicatat oleh dinding-dindingnya.

Begitu juga dengan setiap langkah yang kita ambil. Kau tahu, rumah ini bukan hanya tempat kita tidur dan makan, tapi juga saksi bisu dari setiap cerita yang kita bagikan, dan mungkin cerita yang tak pernah kita ungkapkan.

Meski gelap dan mencekam, rumah ini memiliki daya tariknya sendiri. Seperti magnet yang tak bisa dihindari. Ada sesuatu yang begitu menarik dan menyeramkan sekaligus. Mungkin keheningan malam itu adalah jawaban dari pertanyaan tentang apa sebenarnya rumah ini bagiku.

Rumah bagiku adalah misteri yang tak pernah selesai dipecahkan. Sebuah teka-teki yang selalu menantang untuk diungkap.

Meski kadang terasa menakutkan, tapi di dalamnya terdapat kecantikan kegelapan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berani menjelajah jauh ke dalam rahasia-rahasianya.
Rumah bagiku adalah?…***

Rumah yang Hilang

Rumah yang Hilang
Penulis: Atha Galih Sugara

Aku yang sudah hidup kurang dari satu abad masih bingung dengan apa itu rumah? Karena rumah adalah suatu kata kerja tapi mungkin juga merupakan kata benda maupun sifat.

Jikalau Ratu Elizabeth meninggalkan rumahnya di Inggris dan pindah ke Indonesia untuk menjual cendol dan akhirnya memulai bisnis dengan nama ‘cendol Elizabeth’, ia pasti membeli rumah baru di Indonesia.

Dan ketika ia mengetahui jika rumah nya di Inggris digusur oleh pemerintah, pasti jantungnya tidak akan terlalu terasa ditekan, karena ia punya rumah di Indonesia.

Begitu juga dengan aku yang bingung harus pulang kemana?. Karena banyaknya sesuatu yang disebut rumah. Tapi menurutku aku tidak perlu pulang kemana-mana, karena rumah selalu mengejarku.

Aku yang tidak suka dengan rumah, juga selalu berlari, berlari, berlari, dan bermain polisi-polisian dengan rumah.
Aku selalu menjadi penjahatnya.***

Rumah Bagaikan Kuburan

Rumah Bagaikan Kuburan
Penulis: Balqis Alexa S.P

Dentingan suara jam menggema di setiap sudut kamar. Matahari telah terbenam, langit begitu gelap, perlahan diriku turun dari atas kasur. Tak pernah sedetik pun hari ini merasa tenang.

Kubuka pintu kamar, suasana hening bagaikan kuburan yang menyambutku, ku langkahkan kaki menuju ruang makan sudah waktunya makan malam. Selangkah demi selangkah ku lucuti setiap ruangan yang kosong. Kamar, ruang tamu, dan dapur, semuanya begitu gelap dan sunyi. Akan tetapi, diri ini tak lagi merasakan remang ketakutan.

Secercah cahaya mulai terlihat saat diriku melewati dapur. Semua perabotan terjatuh berserakan di lantai, bumbu dapur, pisau garpu, dan sendok. Terasa pilu hatiku ketika, memandangnya, langkahku terhenti.

“Bapak…” panggilku getir, sesosok pria paruh baya tengah duduk dikursi meja makan.
Ia tersenyum pilu dan menjawab: “Teh, makan?” tawarnya.

Aku mulai menarik salah satu kursi, dan kemudian duduk berhadapan di depan pria itu.

Meja makan dipenuhi berbagai macam masakan di atas piring, namun hanya satu jenis menu yang ada di hadapan kita, yaitu daging.

Aku tersenyum, “Iya, pak,”.

Namun, bau amis sangat menyengat dan tercium dari dirinya?….***

“Pak, mengapa daging ini…” ucapku terbata-bata, mencari kata yang tepat untuk menanyakan keanehan yang terasa begitu mencolok.

Pria itu mengangguk pelan, “Daging ini adalah bagian dari saya. Bagian dari kenangan yang ingin tetap hidup, bahkan setelah tubuh ini tiada.”

Aku terdiam. Tubuhku membeku seolah dihadapkan pada kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya. Kenangan yang diwujudkan dalam hidangan makan malam ini. Ingin rasanya aku bertanya lebih banyak, namun lisan ini terasa terbelenggu oleh kebingungan dan ketakutan.

Pria itu masih tersenyum pilu, seakan mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku. “Kita semua, Teh, adalah perwujudan dari kenangan. Kita hidup dalam ingatan dan pengalaman orang lain. Daging ini, adalah cara saya untuk memastikan bahwa kenangan ini takkan terlupakan.”
Aku mencoba memahami, namun kebingungan dan rasa takut tetap menguasai diriku. Daging di meja makan itu, adalah kenangan hidup yang diwujudkan dalam bentuk yang tak terduga. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tapi juga wadah bagi kenangan yang ingin abadi.

Malam itu, ruangan itu penuh dengan keheningan yang dalam. Daging di meja makan tetap bersaksi tentang kenangan yang tak bisa dilupakan, mengajarkan bahwa rumah bukan hanya tempat fisik, melainkan perwujudan kisah hidup yang tak terhapus.***

Rumah Pintu Biru Elang

Rumah Pintu Biru Elang
Oleh: Najwa Afifah Khoerunnisa

Kamar itu menatapku dengan tajam. Sesaat, pintu putih tersenyum miring padaku. Aku bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa pintu itu seolah-olah memiliki ekspresi iblis yang memperhatikanku?” Aku melayang menuju ruangan di mana biasanya aku berkumpul, namun sekarang hanya terlihat debu yang menyelimuti kursi-kursi.

Hampir tak sadar, aku duduk di kursi yang penuh debu dan bertanya pada diriku sendiri, “Kenapa aku duduk di kursi berhantu ini?”

Tiba-tiba aku tersadar. Dahulu, rumah ini penuh dengan gelak tawa yang harmonis. Suara-suara hangat yang membuat rumah ini hidup. Namun, sekarang, rumah ini hampa tanpa makhluk di dalamnya.

Pintu berwarna biru menarik perhatianku sambil berkata, “Bodoh! Kamu sudah mati, tolol. Tidak ada yang peduli dengan badanmu yang konyol ini.”

Dengan tangan terkepal, aku mendekati pintu biru yang penuh cakaran elang. Aku meninju salah satu cakaran itu sambil mengucapkan, “Kau yang hancurkan”.

Pintu berderak dan melemparkanku, lalu tersenyum sinis sambil berkata, “Rumah ini milikku dan tidak bisa diambil lagi olehmu, rumah butut ini.”

Pintu elang itu masuk dan menampar bagian belakang kepalaku, lalu pergi sambil tersenyum sinis, meninggalkanku terkapar, menatap pintu biru elang penuh dendam.

Aku memutuskan untuk membuka pintu lain di rumah ini, mencari kehidupan baru yang mungkin tersembunyi di baliknya. Pintu-pintu itu seperti jendela menuju dunia yang belum terjamah, dan aku yakin bahwa di setiap lorong, ada kisah yang menanti untuk diungkap.

Pintu biru elang tersenyum sinis dari kejauhan, tapi aku menatapnya dengan tekad. Aku tidak akan membiarkan diriku tenggelam dalam bayang-bayang kehampaan. Dengan langkah mantap, aku melangkah keluar dari ruangan ini, siap menjelajahi dunia baru yang menanti di luar sana. Mungkin ini saatnya untuk memulai kisah baru.

Dengan perasaan campur aduk, aku menutup pintu belakang rumah dan merasakan angin segar menyapa wajahku. Langit biru di atas sana menjanjikan petualangan baru. Aku tidak tahu apa yang menanti, tapi setidaknya, aku melangkah keluar dengan tekad yang baru ditemukan, meninggalkan pintu biru elang dan kehampaan di belakang.*