Rumah Bagi Perantau

Rumah Bagi Perantau

Penulis: Hamas Pahlawan Nur Adha

Rumah adalah sebuah objek yang ditunggu tunggu dan dirindukan oleh para perantau, yang bekerja atau mencari ilmu di tanah yang jauh. Banyak yang merindukan rumah karena sesuatu di dalamnya; kehangatan keluarga, sanak saudara, belaian kasih sayang orang tua, dan lain lain, ada orang yang merindukan rumah secara fisik, rumah secara bangunannya, atau materi bendawi yang ada di dalamnya, seperti, empuknya kasur, nyamannya sofa di ruang tamu, sejuknya hembusan AC, atau Handphone yang membantu kita berselancar internet. Itu semua mungkin dirindukan para perantau yang hidup serba terbatas di tanah orang.

Orang yang merasa hilang kasih sayang batin seseorang di rumah dia mungkin hanya menjadikan rumah sebagai tempat istirahat fisik, dia hanya merasakan rumah dari segi fisik, atau bangunannya saja.

Atau sebaliknya, orang yang merasa tidak tercukupi dari segi fisik dan bangunannya, dia di rumah mungkin hanya memanfaatkan kasih sayang dan kehangatan dari keluarga, tanpa memperdulikan keterbatasan fisik, fasilitas bangunan rumah.

Seperti halnya, seorang prajurit yang bertempur mati-matian mempertahankan kota kelahirannya dari serbuan musuh.

Dia berhasil memukul mundur pasukan musuh, dia merayakan kemenangan bersama rekan-rekannya, saat ia pulang ke rumah sebelum ia membuka pintu pagar halaman rumah, ia melihat rumahnya hancur lebur, rata dengan tanah dihantam bom musuh.

Ia juga melihat kenangan masa kecil yang ikut rata dengan tanah bersama tubuh-tubuh kaku yang dulu selalu membelai dan tertawa bersamanya, ia menjadi prajurit yang berhasil, tapi dengan anggota keluarga yang gagal, ia kehilangan rumah secara fisik dan batin.***

Rumah yang Rindang

Penulis: Muhammad Fahmi Hafidzullah

Dalam senyap senja, aku menyelusuri jalan setapak yang membawaku pada sebuah keindahan yang tak terlukiskan. Rumah itu, berdiri megah di antara pepohonan yang rindang, menyambutku dengan hangat dan damai. Pintu kayu yang anggun terbuka lebar, mengundangku untuk memasuki dunianya yang penuh keajaiban.

Rumah ini, bukan sekadar bata dan semen yang disusun rapi. Ini adalah tempat di mana sinar matahari menyusup lembut melalui jendela-jendela kaca bersih, menciptakan riak-riak cahaya yang mengelilingi ruangan dengan kehangatan. Setiap sudutnya dirancang dengan teliti, seperti seni yang hidup dan bernapas di setiap dindingnya.

Aroma harum bunga-bunga melati yang mekar di taman depan memenuhi udara, memberikan nuansa sejuk dan menyegarkan. Halaman rumah itu bukan hanya lahan kosong, melainkan kebun mawar yang dipenuhi warna-warni indah, menari dengan irama angin yang lembut.

Di dalam rumah, terdapat sentuhan kelembutan dalam setiap furnitur yang dipilih dengan penuh kasih. Kursi empuk di sudut ruang tamu memanggil untuk duduk, sementara perabot kayu yang berkilauan menampilkan ketenangan dalam kemewahan yang sederhana. Setiap benda di sana memiliki cerita sendiri, cerita yang ditorehkan dengan tangan penuh cinta.

Rumah ini adalah lukisan hidup yang menjelma dari impian. Di sini, waktu berjalan perlahan dan hari-hari menjadi alur indah yang terpahat dalam kenangan. Ruang keramik yang bersih mengajak langkahku menyusuri lorong-lorong yang menyambut dengan keanggunan.

Namun, yang membuat rumah ini benar-benar indah adalah kehadiran keluarga. Suara tawa anak-anak yang riang, canda tawa dari ruang keluarga, dan bau masakan yang menggoda di dapur—semuanya menyatu dalam harmoni kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah ini.

Rumah ini bukan hanya tempat berlindung, melainkan pangkalan kasih sayang dan tempat pulang. Ini adalah titik temu setelah seharian berlalu, tempat di mana pelukan hangat dan senyuman keluarga menjadi obat penyejuk bagi hati yang lelah.

Rumah ini adalah kisah keindahan yang tak pernah habis diucapkan, cerita yang terus berkembang seiring waktu. Dan saat aku menatapnya dengan mata penuh kagum, aku menyadari bahwa rumah ini adalah lebih dari sekadar tempat tinggal. Ini adalah surga kecil yang mewujud di tengah hiruk-pikuk dunia, memberikan ketenangan dan kebahagiaan sejati. ***

Rumah, Serigala dan Kucing

Penulis: Aghniya Hauna Kurniawan

Di rumah ini ada dua hewan yang saling bertolak belakang yang pertama ada serigala jika marah dia akan seperti psikopat kejam.

Dia akan membawa pedang lancip dan akan membanting siapapun yang ada disekitarnya.

Sedangkan kucing yang lemah lembut tapi terkadang bisa berubah jadi macan tegas diriku, yang bingung harus berlindung kemana-kemana. Tapi kuselalu merasa nyaman di saat mereka jinak.

Keduanya, baik serigala maupun kucing, menjadi metafora dari dua sisi dalam dirimu. Keberanian dan ketegasanmu seperti pedang yang siap bertempur, sementara kelembutan dan kelicikanmu seperti kucing yang bisa menyesuaikan diri dengan berbagai situasi.

Kehadiran keduanya menciptakan harmoni unik yang membentuk karaktermu yang kompleks dan menarik.

Dia mengayunkan pedangnya dengan penuh semangat, memotong melalui rintangan yang mungkin menghalangi jalannya. Setiap gerakannya tidak hanya menunjukkan keberanian, tetapi juga keahlian yang luar biasa dalam seni bela diri. Srigala perpanjangan dari tekadnya untuk melawan segala rintangan.

Sementara itu, kucing yang lemah lembut tetapi dapat berubah menjadi macan tegas, mencerminkan dualitas dalam kepribadianmu. Ketika keadaan membutuhkan, kau dapat berubah menjadi sosok yang kuat dan berani, siap melindungi dan membela diri. Namun, pada saat yang sama, kelicikan dan kelembutanmu memberikan warna tersendiri pada karaktermu yang kompleks.

Rasanya seperti dirimu adalah kombinasi unik dari kekuatan dan kelembutan, seperti dua kekuatan yang berlawanan namun saling melengkapi. Serigala dan kucing yang lincah, keduanya menjadi simbol dari ketangguhan dan kecerdikan yang melekat pada dirimu. Dalam setiap langkah dan gerakanmu, cerita petualangan dan pertarungan hidup terus berlanjut.***

Rumah Adalah Saksi Bisu

Penulis: Chika Juliar A

Aku tidak mengerti dengan dunia ini. Semuanya terasa berantakan dan kacau. Setiap sudut kehidupan penuh dengan kebingungan dan kekacauan. Aku merasa sangat lelah, letih dengan semua ini. Rasanya seperti aku tersesat di tengah badai yang tak berkesudahan.

Rumah ini begitu sunyi, hening, seakan-akan tak ada kehidupan di dalamnya. Ruangan-ruangan yang seharusnya penuh tawa dan kehangatan, kini hanya diisi oleh kesunyian yang menyakitkan. Aku merenung, mencoba mencari makna di balik semua keheningan ini.

Bagi ku, rumah ini seperti singa. Terkadang, rumah adalah tempat yang membebani, seakan-akan menuntut segalanya dari kita. Aku merasa kebingungan dengan peran rumah dalam hidupku. Tapi entah mengapa, meskipun begitu, ada rasa cinta yang mendalam terhadap rumah ini. Mungkin itu karena rumah adalah saksi bisu dari setiap jejak langkahku.

Bundaku, sosok yang begitu bawel dan cerewet. Terkadang, suaranya seperti deru ombak yang tak kunjung reda. Namun, aku mencintainya dengan sepenuh hati. Meskipun terkadang sulit untuk memahami segala keluh kesah dan cerita panjangnya, aku tahu bahwa itu adalah wujud dari kasih sayangnya.

Aku memilih untuk bersabar dengan semua ini. Aku mencoba menjadi ikhlas dan meletakkan segalanya di tangan Allah SWT. Mungkin ini adalah ujian yang harus aku lewati, mungkin ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak bisa dihindari. Aku berharap bahwa dengan bersabar dan tawakal, segala kekesalan ini akan berakhir dan membawa kebahagiaan yang sejati.***

Rumah Adalah Ember-Ember Kesedihan

Penulis: Alfaiq Ihsandhiya Dhafy

Rumah pada mata diriku adalah ember-ember kesedihan yang disiram oleh iblis. Ia terkutuk, oleh tumpah-tumpah bapakku. Jangankan matahari terbit dari timur, ia dihancurkan oleh tangis ibuku.

Pagi saja tidak ada di rumahku. Itu tahun 2017. Aku menanjak diriku kedalamnya. Pada ruang tamu saja sudah disambut iblis kursi. Ia bilang “AKU MUAK BERBINCANG DENGAN KELUARGA,” kata kursi.

Kursi sofaku meronta-ronta, di atasnya ada ibuku yang melawan setan-setan dengan lantunan ayat-ayat suci-Nya. Ia mengutuk ibuku dengan satu kalimat mereka yang akan membawa bapak ku.

Aku tidak goyah dangan semua itu, suara harapan dari keramik, tasbih terus menghujani atap rumahku melawan Siapa? yakni bapakku yang iblisnya. Ia melanggar sumpah janji cinta.

1001 diterornya. Semua yang dibangun hancur begitu saja. 17 tahun rumah tangga yang dijanjikan porak poranda pada 20 Juni, menyisakan tulang belulang asmara mereka di ruang tengah yang begitu tegang dengan drama yang berakhir gila.

Aku mengaisi mayat-mayat asmara dengan ribuan luka iblis yang menghujani punggungku. Menangis aku sebagai anak semata wayang, tapi air mataku menghidupkan kembali sosok ibuku.

Ibuku memelukku dengan tangis sedih. Ia bersumpah menjunjungku pada ribuan doa demi kebahagiaanku di asrama pesantren. Ia akhirnya membangun lagi. Bukan rumah. Melainkan syurga bagiku.

Ibuku, sebagai pilar kekuatanku, berusaha menutupi bekas luka itu dengan senyuman. Tetapi, di matanya, tergambar kerisauan yang dalam. Ia tahu betul, bagaimana cinta yang tumbuh di tanah penuh kenangan pahit dapat meracuni jiwa seiring waktu.

Setiap luka di punggungku menjadi saksi bisu dari pertempuran asmara yang tak pernah aku pinta. Aku merenung, seraya mencoba memahami makna dari setiap getaran rasa di hatiku. Bagai pesan yang terukir di batu, aku terus berusaha mencari makna di balik setiap luka yang membelenggu.

Ibuku, dengan kebijaksanaannya, menyentuh pundakku dengan lembut. “Anakku, luka-luka itu adalah bagian dari perjalananmu. Mereka bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa kamu telah berani mencintai. Biarkan luka-luka itu menjadi pelajaran yang berharga untuk mengukir kebahagiaan di masa depan.”

Sorot mata ibuku penuh makna. Ia tahu bahwa setiap helai cerita asmara di balik luka-luka itu adalah bagian dari perjalanan yang tak terelakkan. Dan dari setiap luka, ia berpesan untuk tidak melupakan nilai cinta yang sesungguhnya.

Dengan semangat baru, aku mulai memahami bahwa syurga yang ibuku bangun bukan hanya tentang fisik tempat, melainkan tentang kedamaian dalam jiwa. Aku merajut kebahagiaanku dengan benang kebijaksanaan yang diberikan ibuku.

Bersama ibuku, aku belajar untuk menerima luka-luka itu sebagai bagian dari kehidupan. Kita terus membina syurga kita sendiri, bukan dengan menutupi luka, tetapi dengan merangkulnya sebagai sejarah yang membentuk karakter.

Dan dalam setiap helaian cerita asmara, aku menemukan kekuatan untuk melangkah maju, membawa syurga itu sebagai hadiah berharga di setiap langkah perjalanan hidupku.***